SEMANGAT HIDUP

SEMANGAT HIDUP
SIGLE

Jumat, 05 Maret 2010

Serba-serbi Sejarah Lokal: Ketong Pusat Kebijakan Lokal KOMANG TRIAWATI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan zaman mengenai masalah yang mengatur tentang kebijakan lokal yang sering kita dengar di masyarakat merupakan kajian sosial dan analisis yang patut kita teladani dalam mengendalikan nilai-nilai atau norma serta aturan yang berlaku. Dengan demikian, maka akan muncul suatu peluang kerja serta keputusan yang valid bila ada musyawarah atau mufakat yang telah disepakati. Dalam tataran demikian akan muncul sebuah fenomena baru yang penting mengenai hal itu, untuk memudahkan mengenal, memahami, mengatur, masalah-masalah yang ada dalam desa tersebut. Judul ini mengangkat mengenai “Serba-serbi Lokal :Ketong Pusat Kebijakan Lokal” ini diambil dari hasil penelitian yang penulis dapat dilapangan mengenai kebijakan-kebijakan yang selalu mengarah pada satu arah saja, apapun hasil dari kebijakan tersebut intinya tetap disesuai berdasarkan keputusan yang telah disepakati oleh para anggota dewan atau tokoh adat yang ada di desa tersebut. Desa merupakan suatu penduduk yang terterpencil yang berada disuatu wilayah tertentu yang biasanya jauh dari tempat keramaian. Desa sebagai wilayah yang diatur melalui perangkat-perangkat serta batas wilayah sesuai dengan kekuasan yang dimiliki oleh pemerintah dalam mengembangkan tugasnya sebagai abdi pemerintah. Kemudian beranjak dari hal tersebut maka kategori desa,dapat dilihat dalam Undang-undang atau peraturan perundangan-undangan.
Menurut para ahli Boeke dan Vergouwen yang mengatakan, terbentuknya Desa karena adanya sub-subklen, dan ikatan keagamaan sebagai pemersatuannya. Perkembangan Desa, pertambahan penduduk di daerah pedesaan terus meningkat secara jumlah baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Sehingga wilayah satuan desa terus bertambah seiring berjalannya pertumbuhan dalam suatu daerah atau lokasi tertentu. (Awan Mutakia,1998: 35) Maka terbentuknya desa juga di atur dalam undang-undang serta Peraturan Daerah (Perda) yang berlaku, oleh karena itu banyak perubahan yang terjadi apabila desa tersebut dekat dengan kecamatan yang memudahkan terjadinya arus tranportasi, inilah dampak yang akan di timbulkan apabila suatu wilayah yang dijadikan sektor andalan dalam kecamatan dilihat dari segi; pembangunan desa, irigasi maupun sistem keamaan yang ada disana. Desa Ketong memiliki potensi sumber daya alam yang besar seperti bidang pertanian, perkebunan, bahkan dalam bidang kelautan (nelayan) juga memiliki potensi yang sangat besar tetapi sumber daya manusia belum memadai, Ketong dekat dengan ibu Kota kecamatan Malei membawa dampak besar dalam segi pembangunan desa seperti sekolah, masjid, rumah adat bahkan rumah-rumah penduduk akibat adanya masyarakat tradisional yang masih melekat di desa ini serta suku asli masih menjadi pemegang kekuasaan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi maupun dalam bidang-bidang yang lainnya. Sehingga bahan-bahan yang ada di Ketong banyak di kirim ke Malei serta hasil-hasil yang ada di Ketong juga berpengaruh besar di daerah lain seperti Manimbaya, Rano, Kamonji, Malei dan Walandano. Inilah hal yang sangat menarik mengenai judul ini kebijakan yang ada antar desa selalu dibicarakan di Ketong, karena Ketong merupakan pusat untuk mendapatkan kata mufakat, musyawarah dan hal-hal lain mengenai masyarakat setempat. Terbentuk masyarakat desa, ada sejumlah prinsip, nilai dan norma yang membuat warga desa terikat sehingga merupakan kesatuan hidup bersama. Kesatuan hukum yang dimiliki oleh masyarakat (pribumi) itu sendiri, misalnya, (1) kesatuan dari aturan adat yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarkat itu sendiri yang memiliki karakteristik dasar tradisional; (2) kesatuan hukum yang didukung dan merupakan kesepakatan umum dari sebagian besar warga masyarakat desa. Hal yang paling luar biasa yang ada di Ketong ketika ingin mengambil sebuah kebijakan semua harus di Ketong hal ini disebabkan karena Ketong dijadikan pusat kerajaan, serta Magaunya sekarang tinggal di Ketong Dusun dua, sehingga apapun keputusan yang terjadi di tiap desa seperti Manimbaya, Rano, Kamonji harus melakukan musyawarah di Ketong dulu karena disanalah struktur kerajaan terbentuk.
Desa Ketong berada di kecamatan Balaesang Tanjung yang merupakan kecamatan yang terbentuk pada tanggal 30 Nopember 2009, yang baru diangkat Camat Balaesang Tanjung sekitar 2 bulan menjabat sebagai camat sangatlah sulit kerana banyak masalah yang dihadapi oleh para pemerintah dn struktur camat yang ada , serta kecamatan ini di ajukan ke pemerintah sejak tahun 2003 dan di angkat menjadi kecamatan pada tahun 2009, kerja keras masyarakat sekitar serta ada 7 tokoh yang berperan, pada saat pembentukan kecamatan diantara ke 7 tokoh itu antara lain bapak Intje iya Sosorang yang memperjuangkan segenap tenang materi serta pikirannya agar bisa menjadi kecamatan dan para tokoh lainnya yang ikut berjuang. Hal itu berhasil tercapai selama 5 tahun di perjuangkan, akhirnya menjadi kecamatan, tetapi sayang setelah di sahkan menjadi kecamatan terjadi konflik antara desa Ketong dan Malei, yang memang menurut pemerintah ada tiga desa yang dianggap layak menjadi kecamatan antara lain desa Ketong, desa Malei dan desa Kamonji yang di anggap layak menjadi kecamatan. Tetapi setelah diseleksi menjadi syarat kecamatan dalam 15 point, ada 3 desa tersebut yang berhak di kategorikan kecamatan antara lain desa Ketong mendapat 14 point, desa Malei 9 point, dan Kamonji sendiri 3 point, tetapi yang berhak adalah 2 desa yang memenuhi syarat yaitu desa Malei dan desa Ketong. Kemudian saat penentuan kecamatan akhirnya di toki palu sidang yang disahkan adalah desa Malei, ini disebabkan oleh adanya unsure politikyang bermain didalamnya, karena banyak masyarakat beranggap di DPR banyak anggota dewan dari daerah Malei yang duduk di dalam. Sehingga hal itu yang menjadi penyebab peralihan dari desa Ketong yang sah, serta memenuhi syarat yang telah ditentukan. (wawancara Suabri, S.Pd, di Ketong, pada tanggal 1 januari 2010 pukul 14.00 wita).
Pada saat melakukan Penelitian di daerah Ketong tepatnya pada hari kamis tanggal 31 desember 2009, banyak terjadi hal-hal yang berbeda yang penulis dengar dari pada para informan yang penulis wawancarai, menanyakan informasi mengenai keberadaan suku di Ketong, raja-raja di Ketong bahkan mengenai mengapa kecamatan harus ada di Malei bukan di Ketong. Banyak pendapat yang penulis dapatkan walaupun hanya dari sumber lisan saja, tetapi penulis bangga dengan masyarakat yang ada disana sangat ramah dan bahkan senang ketika penulis datang kesana, di mana menurut penuturan bapak camat Malei (Sarifullah) ”Baru Mahasiswa Sejarah Fakultas FKIP Jurusan P.IPS yang pertama datang di Kecamatan Balaesang Tanjung ini untuk melakukan KKL, selama empat hari ini semoga adik-adik mahasiswa senang dan juga bisa mencari data yang adik-adik nantinya dapatkan saat terjun langsung di lapangan, bahkan beliau juga mengucapkan permohonan maaf karena Kepala Desa tidak sempat di undang untuk menjemput adik-adik Mahasiswa untuk pergi ke Desa masing-masing”. Itulah sedikit sambutan kebangggaan bagi kami selaku mahasiswa yang sedang mencari ilmu di tempat orang, serta mendapat pujian yang luar biasa dari camat Balaesang Tanjung yang diangkat baru satu bulan yang lalu tepatnya pada bulan November 2009. Ini merupakan hal yang menarik perhatian mahasiswa untuk mendapatkan data yang akan di dapat nantinya saat terjun kelapangan yaitu pada hari jumat pagi pada tanggal 1-3 januari 2010.(sambutan Camat Balaesang Tanjung, di Malei, pada hari kamis, 31 desember 2009)
Mengenai daerah Ketong sendiri sangat berbeda unsur yang ada disana, dimana suku-suku yang ada disana sangat beragam suku, tetapi yang paling dominan adalah suku Balaesang. Suku ini sangat kental dengan adat-istiadat budaya terutama mengenai pengangkatan Magau yang ada disana. Hal-hal yang menjadi ketertarikan penulis ketika menanyakan masalah makna pemukulan beduk menjelang sholat jumat sebanyak tiga kali dengan Irama khusus dalam agama islam dengan selang waktu 5-10 menit, pendapat antara satu sama lain berbeda yaitu: menurut pendapat Suabri bahwa:
“pukulan tersebut bermakna merupakan tradisi masyarakat Ketong, menandakan bahwa ada suku ini dari selembar menjadi satu atau suku Balaesang, ini juga terjadi di daerah Rano, Kamonji”. Inilah penuturan yang disampaikan oleh bapak Suabri (wawancara dengan Suabri di Ketong dusun I, 1 Januari 2010).
Setiap kali sholat Jumat selalu memukul beduk 3 kali bermakna. Menurut Sukardi bahwa: “makna beduk itu menandakan selesai sholat jumat dipukul tiga kali biasanya pertemuan atau ada sesuatu yang penting yang ingin di bicarakan yang sangat normal/formal yang bisa di bicarakan di masjid mengenai masalah pertemuan dan kedatangan tamu yang datang di daerah tersebut (wawancara dengan Sukardi di Ketong Dusun I, 1 januari 2010).
Secara umum, pemukulan beduk tersebut sebenarnya sudah ada dalam agama islam, namun ada perbedaan khusus yang menonjol antara desa satu dengan yang lainnya. Inilah yang menjadi alasan masyarakat di desa Ketong memahami bahwa mereka ingin menyatukan orang-orang yang ada di Ketong untuk sholat bersama, serta saling menjaga tali sirahturami antara masyarakat yang ada di Ketong karena sesuai dengan arti Balaesang sendiri penyatuan selembar baju yang telah terpisah, inilah yang dijadikan makna simbolis dalam memahami makna beduk tersebut.

B. Pertanyaan Penelitian

Perubahan yang terjadi di Ketong membawa dampak yang baik bagi masyarakat. Pemerintahan yang ada sekarang ini banyak membawa dampak kekerasaan di desa Ketong akibat terjadi perangan/konflik pendapat serta pemahaman antara warga yang menjadi konflik besar selama beberapa tahun terakhir ini. Bahkan hal tersebut membawa korban bagi keluarga P.Djoha yang terkena dampak buruk tersebut ketika melewati daerah desa dari Ketong-Kamonji-Malei yang tujuannya ke Kota Palu, menggunkan kendaraan bermotor.
Hal ini sebenarnya menjadi topik yang menarik bagi kita semua terutama bagi penulis sendiri. Apa yang menjadi kunci permasalah tersebut dan bagaimana cara menyelesaikan konflik tersebut? Itu menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, tetapi penulis hanya bisa menyampaikan pesan “bahwa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, masyarakat yaitu harus mengatasi masalah ini baik itu melalui jalur hukum, jalur persaudaran, serta perdamaian”. Yang nantinya dapat membawa keeratan antara kedua desa tersebut serta terjalin lagi rasa kekeluargaan yang betul-betul menghargai dan menghormati orang lain, tanpa melihat suku bangsa, yang ada dalam masyarakat tersebut. Pada sisi lain, hal ini masih menjadi konflik tersendiri dalam diri individu masyarakat di Ketong dan Malei, serta ketidak seimbangan kebijakan pemerintah terhadap perubahan sosial bagi masyarakat di desa tersebut.

Beranjak dari penjelasan serta pemikiran di atas, maka tulisan ini akan mencoba mengurai peristiwapenting di antaranya sebagai berikut:
1. Apa kendala-kendala kecamatan di pindah dari Ketong ke Malei?
2. Apa faktor yang mempengaruhi perbedaan struktur kerajaan sekarang dengan yang dulu?
3. Bagaimana keadaan sosial ekonomi budaya di Ketong?

c. Tujuan penulisan
1. Agar masyarakat, mahasiswa, serta pemerintah bisa berperan dalam memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi di Ketong dan sekitarnya.
2. Agar semua kalangan mengetahui latar belakang terbentuknya kecamatan di Balaesang Tanjung.
3. Untuk mengetahui keadaan sosial ekonomi yang ada di Ketong.
4. Memahami kendala-kendala yang ada di Ketong.



PEMBAHASAN

Sejarah Desa Ketong

Sejarah desa Ketong menurut sumber baik itu yang tertulis maupun lisan belum banyak di peroleh, ini di sebabkan karena kurangnya arsip yang dimiliki baik itu dari kepala desa, tokoh adat bahkan para kepala dusun sendiri, kemudian hal ini di tunjang karena terjadi bentrokan pendapat dengan para pemerintah sekitar. Sehingga arsip-arsip yang ada di kantor pemerintahan yang dulu dari Tambu, kemudian hilang saat melakukan pemekaran kecamatan. Informasi yang diperoleh hanya dari kepala desa, dewan adat, tokoh adat, serta para pemerintah yang duduk didalamnya tidak mampu menjelaskan secara terperinci mengenai sejarah Ketong. Menurut keterangan dari para informan kepala Desa, tokoh adat serta masyarakat sekitar menuturkan bahwa desa Ketong merupakan pemekaran desa dari Rano, sejak tahun 1902, para informan menuturkan desa Ketong Dulunya merupakan wilayah kekuasaan dari kerajaan Balaesang yang pada waktu itu berkedudukan di desa Rano.
Kerajaan Balaesang dulunya berpusat di Rano pada tahun 1901 sebelum pindah ke Ketong pada tahun 1902, adapun raja pertama kerajaan Balaesang adalah Tonagasa pada masa Portugis, selanjutnya setelah memerintah raja Tonogasa memerintah pada tahun 1984 saat Portugis datang di kabupaten Donggala (hal ini masih menjadi Kontraversi dalam masyarakat). Ketong pada masa pemerintahan Magau Saleto nama Ketong adalah Saleto tetapi nama ini dirubah akibat adanya para pedagang Bugis yang singgah di kerajaan Balaesang ini yang menyebabkan Saleto di tambahkan kata NG sehingga dari kata Saleto menjadi Ketong. (wawancara Suabri, di Ketong, 1 Januari 2010).
Raja Saleto ini sangat di hormati oleh masyarakat di wilayah kerajaan Balaesang, karena beliau sangat adil dan bijksana dalam menjalankan roda pemerintahan. Serta kharismatik kepemimpinan Raja Saleto ini sangat membekas dilubuk hati rakyatnya, terutama dari salah satu wilayah kekuasaan yang sekarang bernama Ketong maka nama Magau saleto diabadikan menjadi nama desa. Jadi dari sanalah asal usul nama Ketong berbentuk, yang berasal dari nama raja atau Maggau kerajaan Balaesang yakni raja Saleto. Akan tetapi kharismatik dan kesaktian yang dimiliki raja Saleto ini, maka ada rasa keengganan dari masyarakat untuk menyebut secara langsung nama raja Saleto ini. Sehingga pengaruh dialek bahasa Balaesang akhirnya menyamarkan nama raja Saleto, menjadi Ketong hingga sekarang rakyat terbiasa menyebut desanya dengan nama desa Ketong. (data tahun 2005, dari kepala desa Ketong, Bahrun Asma hari Jumat 1 Januari 2010)
Sejak terbentuknya Ketong dari tahun 1902 hingga sekarang desa Ketong telah beberapa kali mengalami pergantian kepala desa yakni sebagai berikut:
1. Rajjalaeni merupakan kepala desa pertama pada masa Penjajahan Belanda serta Beliau juga pernah menjadi kepala desa di Malei saat itu, karena memiliki kharisma serta adil dalam menjalankan roda pemerintahan.
2. Buol (1928-1929) hanya bertahan satu tahun memerintah di gantikan kemudian oleh Saleha
3. Saleha (1929-1930)
4. Indapi (tidak tercatat tahunnya)
5. Code Maresue (tidak tercatat)
6. Ahmad Lantera (1952-1954)
7. Intje Iya Tosarang (1954-1974)
8. Shita Lantera (1974-1979)
9. Salim Gorigi (1979-1989)
10. Moh. Said Ahmad Lantera (1989-2005)
Sumber data tahun 2005

Tetapi data sekarang tahun 2009 sudah ada 13 kepala desa yang memerintah yaitu:
11. H. Hasta memerintah 8 tahun tetapi tidak di tahu dari tahun berapa ini hanya penuturan dari kepala desa, karena semua arsip ada di kecamatan.
12. Kepala desa yang ke 12 juga beliau sudah lupa siapa namanya (penuturan kades)
13. Bahrun Asma (2007-20113)
Jabatan kepala desa yang sekarang itu 6 tahun sekali baru Kades bisa di ganti . (wawancara, Bahrun Asma, di Ketong, pada hari jumat 1 januari 2010 )

A. Monografi Desa
a. Letak Georgafis
Desa Ketong adalah salah satu desa yang berada di wilayaTanjung kecamatan Balaesang Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala, yang terletak di bagian selatan Ibu Kota Kecamatan dengan batas wilayah sebagai berikut.
A. Sebelah Utara : Desa Pomolulu
B. Sebelah Selatan : Desa Kamonji
C. Sebelah Barat : Selat Makassar
D. Sebelah Timur : Desa Rano
Desa Ketong dengan luas wilayah 4.127 ha, terdiri dari daratan dan pengunungan (bukit). Di mana pada daratan atau sepanjang pesisir pantai adalah daerah pemukiman penduduk, sedangkan pada daerah pengunungan yang mempunyai ketinggian 50-100 M, di atas permukaan laut yang merupakan urutan yang sebagian telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian dengan tektur tanah serta lahan berpasir dan mempunyai kesuburan yang baik. Suhu pada siang hari rata-rata 34 0C dan suhu pada malam hari rata-rata 24 0C dari luas wilayah tersebut sekitar 4.217 ha. Desa Ketong terbagi menjadi 4 dusun yang masing-masing jumlah penduduk sebagai berikut:
1. Dusun 1: 487 orang
2. Dusun 2: 456 orang
3. Dusun 3: 580 orang
4. Dusun 4: 250 orang
Jadi jumlah seluruh jiwa yang ada di Ketong yaitu 1.773 orang jiwa
(sumber data Potensi desa ketong 1993-1994).
Sedangkan tahun 2009 hasil penelitian mahasiswa pendidikan sejarah saat melakukan observasi kepada kepala dusun dan kepala desa bahwa data yang di dapatkan sebagai berikut:
1. Dusun I : 593 jiwa
2. Dusun 2: 717 jiwa
3. Dusun 3: 482 jiwa
4. Dusun 4: 223 jiwa
Jadi jumlah keseluruhan jiwa yang ada di Ketong 2015 jiwa. Dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 265 kk, dari jumlah keseluruhan keluarga. Suku yang ada di desa Ketong antara lain suku Balaesang mencapai 90 %, Mandar, suku bugis, suku kaili, suku butet/batak, dengan jumrah 593 jiwa.
Dari data di atas dapat dilihat ada perbedaan jiwa pada tahun 2005 hingga tahun 2009 dimana pada dusun I pada tahun 2005 memiliki jiwa sebesar 487sedangkan tahun 2009 sebanyak 593 dari data ini dapat dipastikan terjadinya peningkatan jumlah jiwa akibat adanya perkawinan yang melahirkan sebuah keturunan, atau terjadi perpidahna penduduk selama 4 tahun terakhir ini sebanyak 106 jiwa, ini menandakan di dusun 1 ini terjadi peningkatan secara draktis selama empata tahun. Kemudian pada dusun 2 pada tahun 2005 sebanyak 456 jiwa, lalu meningkat pda tahun 2009 menjadi 717 jwa jadi peningkatan penduduk di sana selama 4 tahun terakhir sekitar 261 jiwa merupakan hal yang luar biasa mungkin banyak penyebab dari sosial budaya, perdagangan bahkan perkawinan yang menyebabkan terjadi hal tersebut. Dusun 3 pada tahun 2005 jumlah jiwa disana sebanyak 580 tetapi pada tahun 2009 sebanyak 482 ini membuktikan terjadi penurunan jiwa yang ada di dusun 3 sebanyak 98 jiwa mungkin di akibatkan karena dua hal yaitu kematian dan pindah ke tempat lain, disebabkan karena tempat dusun tiga kurang strategis. Kemudian pada tahun 2005 di dusun 4 jumlah jiwa sebanyak 250 kemudian menurut pada tahun 2009 yaitu 223 jiwa terjadi penurunan jiwa sekitar 27 jiwa selama 4 tahun, mungkin akibat terjadi kematian atau perpindahan penduduk akibat banyak pendatang bugis yang datang kemudian orang jawa pindah keasalnya karena tidak tahan dengan keadaan ekonomi, serta tempat tinggalnya. Jadi keadaan jiwa di Ketong dari tahun 2005-2009 terjadi 2 fase yaitu dusun 1 dan 2 terjadi peningkatan penduduk sebanyak 367 jiwa selama 4 tahun, sedangkan dusun 3-4 terjadi penurunan sebanyak 125 jiwa.
Menurut penuturan Camat Balaesang Tanjung yaitu Sarifulah pada saat pembukaan di Malei beliau menuturkan, bahwa kecamatan Balaesang Tanjung ini merupakan kecamatan yang ke enam 16 yang ada di kabupaten Donggala provinsi Sulawesi Tengah. Kecamatan Balesang Tanjung di Mekarkan pada tahun pada tahun 2003 sekitar 5 tahun lebih mengajukan diri sebagai kecamatan baru di Balaesang. Akhirnyapada tahun 2009 kecamatan Balaesang Tanjung resmi di dirikan menjadi kecamatan dan berpisah dengan Balaesang Induk resmi menjadi kecamtan baru di pantai Barat kabupaten Donggala. Adat-istiadat disini masih kental khususnya di 4 wilayah atau desa yang ada di Kecamatan Balaesang seperti desa Manimbaya, desa Ketong, desa Rano, dan desa Kamonji yang merupakan serumpun dari desa Rano yang telah mekar pada tahun 1902 saat kerajaan di pindah dari Rano ke Ketong yang merupakan asli suku Balaesang. Sedangkan penduduk yang ada di dua desa yaitu desa Malaei dan desa Walandano merupakan suku pendatang yang ada di kecamatan Balaesang Tanjung yaitu suku Bugis, Balaesang, Manado, Bajo, dan juga suku kaili. Penduduk yang ada di Balaesang Tanjung ini berjumlah 25.608 jiwa dengan komposisi pemerintahan terbagi 8 wilayah yaitu data tahun 2003 yang lalu masih bergabung menjadi satu desa antara yang satu dengan yang lain
1. Pomulu &. Palau
2. Rano & Kamonji
3. Manimbaya & Ketong
4. Malei & Walandan
Tapi tahun 2009 kecamatan di Balaesang Tanjung menjadi 6 desa yaitu desa Rano ,Kamonji, Ketong, Manimbaya, Malei dan Walandano.
(sumber data sambutan Camat Balaesang Tanjung, kamis 31 Desember 2009 pukul 15:11 wita)

B. Masyarakat Sosial Budaya dan Ekonomi
Jika dilihat dari struktur masyarakat yang ada di Balaesang Tanjung dari sistem ekonomi yang ada disini merupakan agraris bahari artinya bahwa mereka memiliki mata pencaharian dalam dua bidang yaitu bidang laut sebagai nelayan dan darat sebagai petan. Pada dahulu kala Balaesang Tanjung tersebut merupakan pusat perekonomian pedagang dari Malasya yaitu para pedagang gelap yang melakukan penyeludupan kayu hitam di daerah Tanjung Manimbaya dan di bawa ke Malao (Malasya) karena para pendagang Malasya tahu bahwa di daearh ini coklat sudah mulai produksi dan mudah mendapatkan dimana masyarakat belum paham untuk mengelolah produksi tanaman tersebut. Sehingga para saudagar dari Malasya menjadi pemasok coklat terbesar saat itu (sambutan Camat Balaesang Tanjung di Malei kamis, 31 Desember 2009)
Daerah ini dulunya sekitar tahun 1981 merupakan penyeludupan kayu hitam terbesar hampir 80% kepala keluarga yang terlibat dalam hal ini, penyebab terjadi hal seperti itu karena 3 masalah yang mepengaruhi masyrakat sekitar yaitu:
1. Penduduk Balaesang terdesak dengan kondisi ekonomi yang ada.
2. Nilai jual tanaman kayu hitam nilai tinggi
3. Kurang menyadari adanya keberadaan kayu hitam
Tapi berkat kondisi tersebut masyarakat mulai sadar akan arti kayu hitam tersebut, sehingga lambat laun penyeludupan kayu hitam mulai berkurang, serta menurut penuturan bapak linmas yang ada di dusun satu juga menuturkan bahwa masyarakat disini hanya di jadikan kambing hitam saja oleh para pengusaha yang ada dari Palu maupun dari Mandar yang ingin mengambil kayu hitam mereka menitipkan kayu tersebut di kebun masyarakat dan mengambilnya apabila igin di jual keluar daerah. (sumber data penuturan camat balaesang Tanjung saat pembukaan KKL di Malei).

Sosial budaya masyarakat Ketong jika dilihat dari kemajuan pembangunan yang ada di desa ini dari segi tersebut, menjadi factor penunjang dalam bidang pendidikan, jumlah ibadah, agama, serta strata sosial seperti Magau juga mempengaruhi system ekonomi di masyarakat Ketong yaitu dalam berbagai bidang dapat dilihat sebagai berikut:
1. Bidang agama salah satu factor yang berpengaruh dalam watak moral yang baik dalam tiap individu, masyarakat, dan bangsa. Dari ketiga ini sangat berhubugan dalam melakukan aktivitas struktur masyarakat baik dari pemerintah maupun tokoh adat yang ada di desa Ketong, jumlah penduduk yang dianut berdasarkan yang dianut yaitu agama islam berjumlah 1.679 jiwa.ini membuktikan bahwa penganut agama islam yang ada di KetsertaSong sangat besar, sehingga banyak hal yang bisa menyatukan ketong sendiri jika dilihat dari struktur yang ada dalam masyarakat setempat seperti pembinaan umat melalui caramah agama, pengarahaan, bimbingan umat yang dilakuka oleh tokoh adat mengingat para tokoh adat yang ada disana sebagian besar berasal dari struktur Magau yang berperan penting dalam hal tersebut.
2. Jika dilihat dari jumlah ibadah yang ada di desa Ketong dari 4 dusun yang ada, yang paling dominan atau menonjol adalah masjid yang masing-masing dusun memiliki I masjid atau tempat ibadah adapun rumah ibadah yang paling Nampak kita lihat adalah masjid Annur berada di dusun II dan Darulsalam yang berada di dusun I. inilah bukti bahwa masyarakat ketong masih melekat dengan nilai-nilai agama yang terkandung didalamnya serta menjadi agama yang mayoritas di Ketong.
3. Bidang pendidikan, jika dilihat dari tingkatan pendidikan yang ada di desa Ketong yaitu a). tamat SD 825 orang, b).tamat SLTP 230 orang , c). tamat SLTA 42 orang, d). Akademik 2 orang, e). Sarjana (SI) 2 orang. Mugkin dalam bidang pendidikan untu ketong sendiri sudah mulai maju, kareana banyak sarjana-sarjana yang ada sana dan memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengembangkan potensi desa di Ketong.
4. Bidang Magau juga mempengaruhi strata sosial masyarakat yang ada di desa Ketong baik dari marga yang berkuasa di sini adalah Pam Lantera dan P.Djoha yang memiliki kekuasaan dalam system pemerintahan dan ekonomi yang ada. Dari kedua bidang ini dapat mempengaruhi keadaan sosial ekonomi yang ada disana, sehingga banyak pemerintahan yang di pegang oleh marga yang berkuasa disana.

Struktur masyarakat di Ketong ini merupakan masyarakat Homogen yang masih kental dengan adat perkawinan, potong rambut, peralihan jabatan, serta sunatan masih melekat dimasyarakat Ketong ini antara sebagai salah satu contoh yaitu:
1. Jika ingin melakukan prosesi pelamaran seorang pria atau istilah Balaesangnya Mentonji-tonji artinya bertanya kepada keluarga perempuan, tetepi keluarga laki-laki yang mengutus satu orang.
2. Kalau yang dilamar belum ada calonnya baru bisa dilakukan prosesi pelamaran yang biasa disebut “Moduta”, setelah melaukan Moduta atau pertemuan kedua belah pihak untuk menetapkan hari, tanggal pelaksanaan prosesi perkawinan. Kemudian setelah menunggu selama batas dua minggu untuk melakukan prosesi akad nikah.
Setelah melakukan akad nikah baru dilakukan prosesi perkawinan yang biasa disebut “Momadika” istilah bahasa Balaesang. Sebelum melaksanakan pelamaran calon pengantin pria bersama keluarga pergi ke rumah calon pengantin perempuan dengan membawa Baki Palangga (baki yang memiliki kaki) kemudian Baki tersebut di isi dengan Sarung 1 lembar, Kain Baju 1 m (belum di jahit) dan Uang Rp 10.000. adat ini merupakan pemberitahuan bahwa calon pengantin pria ingin menyunting calon pengantin perempuan. Kemudian setelah itu, setuju atau tidak nya calon pengantin perempuan dengan maksud dan tujuan kedatangan calon pengantin pria tersebut, tahap selanjutnya calon pengantin pria datang kembali kerumah calon pengantin perempuan dengan membawa sebuah cincin tujuannya untuk memastikan di terima atau tidak. Cicin-cincin tersebut di maksudkan sebagai pengikat setelah menerima pinangan calon pengantin pria dan apabila calon pengantin perempuan tidak menerima/menolak, maka calon pengantin pria pulang dengan membawa kembali cicin tersebut. apabila calon pengantin perempuan menerima pinangan dari calon pengantin pria maka tahap selanjutnya membicarakan berapa Mahar yang ingin di berikan kepada calon pengantin perempuan dan kedua membicarakan penetapan hari dan tanggal upacara atau resepsi pernikahannya.
Adat masyarakat Balaesang, ketika melaksanakan pelamaran yang menjadi mahar yaitu pohon kelapa biasanya sebanyak 44 pohon, namun tidak mungkin pada saat pengucapan ijab kabul membawa pohon kelama sebanyak 44 pohon tersebut. maka 44 pohon kelapa tersebut pada saat ijab kabul digantikan dengan sebuah cicin emas. Tetapi saat mengucapakan ijab kabul sebutan tetap dengan sebanyak pohon kelapa tersebut. ada kalanya pengantin pria pada saat ingin menikah tetapi belum mempunyai pohon kelapa hanya dan pada saat pengucapan ijab kabul digantikan dengan sebuah cicin saja.. sebagai maharnya namun sebenarnya pohon kelapa tersebut belum ada. Ini di bolehkan tetapi setelah menikah pengantin pria baru di menanamkan pohon kelapa untuk sang istri. Ini harus dilaksanakan oleh sang suami, dan apabila tidak dilaksanakan ini akan menjadi hutang seumur hidup bagi suami, karena merupakan mahar yang harus di berikan oleh istri. Setelah suami memberikan mahar pohon kelapa tersebut untuk istri, sang suami tidak boleh lagi mengurusi dan menggunakan hasil dari kelapa tersebut, kecuali atas izin dari istri. Hasil dari kebun kelapa tersebut hanya dinikmati oleh istri dan anak-anaknya.
Sumber data: Mawanti P.Djoha lahir pada tanggal 13 April 1975 minggu 3 januari 2010 pukul 10.00 wita di Desa Ketong

Upacara adat bangun rumah;
Dalam pelaksanaan pembangunan rumah masyarakat Balaesang memiliki upacara adat dengan bahan pelengkap sebagai berikut:
- kelapa 1 Biji
- Air 1 Botol
- Tebu 1 pohon beserta daunnya
- Pisang Manisi 1 tandan.
 Kelapa;
Menurut Masyarakat Balaesang kelapa merupakan hasil perkebunan yang berhasil, oleh karena itu buah kelapa ini di jadikan sebagai syarat dalam pembangunan rumah. Buah kelapa tersebut ditempatkan di tengah tiang rumah.
 Air;
Apabila manusia, air itu di ibaratkan sebagai air liurnya, air merupakan sumber kehidupan bagi setiap manusia yang hidup. Ini yang menjadi alasan kenapa air itu di jadikan sebagai syarat adat di Balaesang.
 Tebu;
Menurut keyakinan masyarakat Balaesang, tebu menjadi salah satu syarat upacara adat dalam pembangunan rumah, agar kehidupan mereka selalu cukup atau pas-pasan. maksudnya disini tidak kekurangan.
 Pisang;
Manis dan berisi
Bahan-bahan diatas ini digunakan untuk adat upacara bangun rumah oleh masyarakat yang ada di Ketong. Agar dalam pelaksanaan pembangunan tersebut, rumah tetap menjadi kokoh dan kuat. Serta lebih sakral, karena dilengkapi dengan sesajen dan juga doa dalam pembuatannya.
Sumber data: Jamalludin Gandali, hari jumat tanggal 1 januari 2010 pukul 15.00-18.00 wita.
Adapun rumah adat yang ada di Ketong masih terbuat dari kayu dan di bangun di dekat kuburan dusun II, rumah adat Kerajaan Balaesang sampai sekarang belum jadi dan masih berdiri kokoh di dusun II. Dengan demikian bahwa rumah adat merupakan suatu rumah yang dianggap sakral oleh masyarakat sekitar karena rumah tersebut adalah rumah leluhur kerajaan Baleasang yang ada di Rano.
Adapun struktur masyarakat yang ada di Ketong antara lain sebagai berikut: adanya perbedaan di masyarakat di sebabkan oleh beberapa hal yang menjadi syarat antara masyarakat satu dengan yang lainnya yaitu dalam system pemerintahan yang berkuasa adalah marga Lantera dengan melihat keturunan yang menjadi Maggau di Ketong adalah marga ini, seperti beerapa Maggau sebelumnya termasuk Maggau sekarang yaitu Moh. Said Ahmad Lantera. Oleh karena itu, pemerintahan Maggau yang paling berperan adalah 5 orang ini antara lain Maradia Tonggong, bapak dari Siamang Maradia Tombong (orang tua yang dituakan), Maradia Tombong, Maradia Moburang, dan Maradia Malol, sehingga hal inilah yang menjadikan struktur masyarakat di ketong kuat dari system pemerintahan bisa menguasi roda pemerintahan karena memiliki pengalamana sebelum menjadi Maggau mereka sudah menjadi kepala desa. Sedangkan struktur masyarakat lagi yang menjadi patokan dalam system ekonomi adalah keturan marga P.Djoha yang memiliki kekuasaan ekonomi hampir di 4 desa yang ada di kecamatan Balaesang ini antara lain di Rano, Kamonji, Ketong dan juga Manimbaya. Keluarga ini juga menguasai system pemerintahan masyarakat di Balaesang seperti kepala desa Kamonji keturunan P. Djoha, Rano keturunan P.Djoha, Ketong keturunan P.Djoha dan juga Manimbaya Keturunan P. Djoha dari sinilah Nampak sekali marga atau pam yang mempengaruhi masyarakat disana baik dari system ekonomi maupun system pemeritahan. Bahasa yang terdapat di Balaesang yang sama bahasanya dengan Daerah Ketong antara lain Kamonji, Rano, dan Manimbaya keempat daerah ini memiliki bahasa yang sama dengan yang lainnya karena mereka satu rumpun yang semuanya berasal dari satu daerah yaitu Balaesang. Perbedaan bahasa Balaesang dengan kaili yaitu ucapan maupun kata yang digunakan dalam berkomunikasi dengan yang lainnya berbeda contoh kongrit yaitu jika bahasa Balaesangnya mengucapkan air disebut dengan phalu, sedangkan bahasa kaili air itu adalah uwe. Inilah yang membedakan kedua bahasa di dearah pantai barat ini dengan kaili.

C. Sejarah Pemerintahan dan Struktur Kerajaan Balaeang Dari Raja-Raja Yang Memerintah
Raja pertama yang berada di Balaesang pada tahun 1984 Kerajaan Balaesang menjadi pusat di dearah Rano, karena daerah ini merupakan tempat yang strategis bagi para bajak laut untuk singgah dari Manimbaya melewati Sivia untuk sampai di kerajaan Balaesang yaitu Rano. Pada saat terjadi perang di Rano ketika terjadi penyeludupan kayu hitam disana banyak angkatan militer masuk ke Rano untuk mmebuat jalan setapak melalui Rano, Silvia dan tibalah di Manimbaya yang merupakan pusat pelabuhan terbesar setelah Pesoso di depan Tanjung Manimbaya. Kemudian setelah kerajaan Rano terjadi ledakan penduduk disana banyak masyarakat yang pindah akibat kerajaan Rano sangat sempit lokasi pemukimannya, maka masyarakat banyak yang melarikan diri dari meriah yang selalu di ledakan di Rano oleh bangsa Portugis. Kemudian pada tahun1902 terbentuklah desa baru yang merupakan wilayah kekuasaan Rano yaitu Ketong, setelah terbentuk desa, kerajaan sebelumnya di pindahakan dari Rano ke Ketong karena melihat desa ketong tempatnya sangat strategis dan mudah melakukan aktifitas kerajaan. Rano memiliki wilayah sangat kecil, yang menyebabkan banyak masyarkat yang pindah.

Adapun struktur kerajaan pada Balaesang yang memerintah sekarang ini ada 12 Magau antara lain sebagai berikut:

MAGAU TONAGASA

MAGAU TONI ALUNGLIBATU (1901-tidak diketahui)

MAGAU TOKINOTA

MAGAU SALETO

MAGAU MARAHUNI

MAGAU LANTERA

MAGGAU ABDUL GANI

MAGAU LAMI (1940-1941)

MAGAU CODE MARESUE
(1942-1985)

MAGAU ABDUL HAMID (1985-1997)

MAGAU LAMARI LANTERA
(1997-2009)

MAGAU MOH. SAID AHMAD
(2009-sekarang)



Penjelasaan:
Raja pertama yang memerintah adalah Tonagasa pada masa portugis dimana Tonagasa masih menjadi raja di Rano. Hubungan antar Maggau Alung Libatu merupakan sepupu dari ibu Tonagasa. Menurut penuturan pabicara Ketong yaitu Intje Iya mereka masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Toni Alunglibatu memerintah pada tahun 1901 tepatnya setelah Ketong Resmi terbentuk pada tahun 1902, pada masa Portugis hubungan antara Toni Alunglibatu dengan raja Ketiga yaitu Tokinota adalah cucu dari Toni Alunglibatu. Pada saat itu Tokinota sudah beragama islam pada awal zaman belanda masuk, sudah menjabat sebagi raja. Hubungan Tokinota dengan Saleto, Tokinota adalah Bapak dari Saleto, kemudian Saleto dengan Maharuni merupakan sepupu satu kali. Setelah itu silsilah berlanjut ke kerajaan berikut yaitu masa Lantera merupakan anak dari Saleto, lalu lantera dengan Abdul Gani sepupu dari bapaknya saleto. Abdul Gani dengan Lami merupakan suami isri yang ada saat itu, tetapi sebelum di kuburkan Maggau Abdul Gani di ganti oleh istrinya sendiri sampai mendapat pengganti dari keturunannya, lalu Maggau Lami memegang jabatan selama 3 tahun lalu digantikan oleh iparnya sendiri yaitu Code Maresue semasa beliau memerintah sepanjang 40 lebih tahun, antararaja-raja yang pernha memerintah inilah raja terlama sepanjang sejarah. Tetapi saat mengetahui tahun memerintahnya Mag Hal ini di karenakan kearifan, kebijaksanaan yang dimiliki oleh beliau dari masa pemerintahan Jepang hingga reformasi. Magau Lami bukan 3 tahun tetapi satu tahun, ada dua persi yang mengatakan hal tersebut, jadi kedua persi ini menjadi sebuah bukti perjalanan pemerintahannya.
Setelah 40 tahun lebih menjabat Code Maresue wafat dan di gantikan oleh keponakannya yang merupakan anak dari Abdul Gani yaitu Abdul Hamid beliau wafat kemudian di gantikan oleh Lamari Lantera merupakan sepupu dengan Abdul Gani, tetapi setelah Lamari Lantera menjabat sebagai Maggau di Ketong selama beberapa tahun akhirnya dengan terpasak harus di gantikan masa jabatannya oleh Moh. Said Ahmad Lantera yang secara Maggau tidak sah menyandang status tersebut dimana di Kerajaan Balaesang ini jabatan Maggau secara adat-istiadat seumur hidup. Tetapi penuturan beberapa masyarakat yang ada disana antara lain menurut Linmas Dusun I ketong ia menjelaskan bahwa Lamari Lantera tidak cakap dan kurang mobile terhadap masyarakat, bahkan sering lupa, hal inilah yang membuat masyarakat kurang senang dengan kepemimpinan beliau dan berinisiatif mengantikan Maggau Lamari Lantera dengan kemenakannya yaitu Moh. Said Ahmad Lantera jika secara adat tidak sah menjadi Magau tapi secara aturan bisa karena melihat kondisi yang ada kurang stabil dalam masyarakat. Dari ke dua belas kerajaan maggau yang ada yang paling kental Maggaunya adalah marga keturunan Lantera yang menguasai system pemerintahan di Ketong.
(wawancara, Intje iya Sosorang, Jumat 1 januari 2010)

Kemudian pada perkembangan selanjutnya di kerajaan Balaesang yang menjadi Magau ke 12 yaitu Moh. Said Ahmad Lantera yang sudah menjabat selama beberapa bulan yaitu dari tanggal 4 april 2009. Jabatan Maggau tidak ditentukan beberapa tahun, tetapi jabatan tersebut bisa didapat seumur hidup berdasarkan garis keturunan Marga Lantera. Jabatan Maggau bisa lepas apabila melakukan pelangaran atau kesalahan, melanggar adat baru bisa digantikan walaupun belum meninggal dunia, adat kerajaan Balaesang mempunyai jabatan sebagai Magau itu seumur hidup berdasarkan keturunan Marga Lantera. Jabatan Magau akan lepas jika melakukan kesalahan atau pelanggaran, jika melanggar adat baru diganti walaupun belum meninggal dunia, adat Balaesang Magau memiliki masa jabatan seumurhidup serta adat Balaesang memiliki 2 pelanggaran apabila ingin diganti menjadi Magau. Dilakukan 2 upacara adat yaitu upacara pelantikan Magau disebut Monggalar yaitu pemberian semangat kerja proses pelaksanaan biasanya satu hari, upacara pemakaman apabila sementara menjabat sudah ada yang mengganti baru Magau bisa memakamkan pengganti Magau harus memiliki garis keturunan Lantera. Marga Magau tersebut hanya saudara kandung yang boleh menjadi Raja. Jika ingin menjadi Magau tidak satu keturunan bisa menjadi Magau asal dari kesepakatan kepala Suku atau tokoh adat . Kata Balaesang terdiri dari dua kata yaitu bala dari asal kata nabala artinya satu lembar baju dan sang dari kata esang artinya penyatuan baju yang terpisah-pisah yang disatukan kembali. Jadi, Balaesang sendiri merupakan suatu penyatuan orang-orang yang disimbolkan dengan baju yang ingin disatukan disuatu tempat agar tidak terjadi perkotak-kotakan. (wawancara, Moh. Said Ahmad, di Ketong Jumat 1 januari 2010)





Adapun struktur pemerintahan Magau yang sekarang ini antara lain sebagai berikut:

Magau
Moh. Said Ahmad Lantera
Desa ketong



Maradia Tonggong
Penonto
Desa Kamonji


Maradia Margunang
Asil
Desa Rano


Maradia Malolo
Adam Sadari
Desa Rano


Pabicara
H.Intje Iya Sosorang
Desa Ketong


Siamang Maradia Tombong
Kalangang
Desa Rano


Simananda
Jamaludin Gandali
Desa Ketong


Patola
Sidin Kintara
Desa Ketong


Pasipada
Malik Sainun
Desa Ketong


Ada yang unik dalam struktur Magau sekarang ini mengenai peran dari pabicara yaitu Intje Iya Sosorang dimana pda tahun 1927 merupakan juru tulis Belanda atau pada masa pemerintahan Belanda yang masuk di Donggala pada tahun 1902. Adapun jabatan yang pernah dipegang antara lain;
1. Pada tahun 1937-1942 menjabat sebagai juru tulis
2. Pada tahun 1943-1945 menjabat sebagai petugas mesjid/hatip/ setara wakil dari iman masjid
3. Pada tahun 1955-1972 menjabat sebagai kepala desa Ketong
4. Pada tahun 1973-sekarang menjabat sebagai pemangku adat/pembicara.

Peranan dan tugas Pemangut adat sebgai berikut:
1. Magau bertugas sebagai perdana mentri atau koordinator pemangku adat
2. Maradia Tonggong bertugas di bidang pertanian atau menangani masalah tanam menanam yang ada di Balaesang
3. Maradia Margurang bertugas dibidang kemasyarakatan
4. Maradia Malolo bertugas sebagai hakim di lingkungan masyarakat
5. Pabicara bertugas seabagai humas atau hubungan masyarakat
6. Siamang Maradia Tombong bertugas sebagai pembantu dalam bidang pertanian
7. Simanada bertugas sebagai imam dalam bidang keagamaan
8. Patola bertugas sebagai dalam bidang tertentu ia bisa mewakili Maggau atau keselurahan jajaran di atasnya jika ada halangan
9. Pasipi Ada bertugas sebagi pembantu bidang yang ada.
Peran dan tugas pemangku adat sangat penting dan juga mempengaruhi roda pemerintahan, karena peranan inilah yang menggerakan kondisi masyarakat yang ada di Ketong. Pembagian tugas struktur Magau ini yang mengatur serta mengontrol keadaan masyarakat.
Ada perbedaan yang terjadi diantara struktur yang ada sekarang dengan yang terdahulu. Ini disebabkan karena berbedanya pemimpin yang memerintah. Sesuatu hal yang menajdi berbeda ketika masa pemerintahan Lamari Lantera dan Moh. Said Ahmad di mana peran Patola ini berpengaruh sekali dalam pemerintahan baik dari segi cara kerja maupun pembagian tugas hampir semua patola yang harus mewakilinya, itupun kalau diberikan kuasa.
Sumber data: (wawancara, Moh. Said. Ahmad Lantera, Jumat 1 januari 2010)

Kendala-kendala kecamatan di pindah dari Ketong ke Malei

Peristiwa yang terjadi di Ketong merupakan titik balik dari peristiwa saat Ketong ingin menjadi Kecamatan tetapi hal itu tidak kunjung usai, karena menurut Anggota dewan saat pemukulan palu sidang, Ketong belum memenuhi syarat untuk menjadi Kecamatan akhirnya kecamatan di pindah ke Tambu, tetapi 7 tokoh ini memiliki peran yang sangat penting ketika itu, dengan semangat yang membara dan cita-cita yang tinggi, akhirnya 7 tokoh ini kembali berjuang merebut kembali kecamatan itu dari Tambu untuk kembali ke Ketong, tetapi hal itu gagal lagu bahkan terjadi konflik besar saat itu, antara masyarakat Tambu dan Ketong. Sekitar tahun 2003, ada 7 tokoh ini kembali berjuang mempertahankan Ketong untuk menjadi kecamatan, hal itu juga menelan sakit hati yang kiat menusuk jantung masyarakat di Ketong, karena dari tiga desa yang ditetapkan menjadi
Kota kecamatan yaitu desa Kamonji, desa Ketong dan Malei. Karena ketiga desa ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kaca mata pemerintah, dilihat dari lokasi yang ada disana sudah sesuai dengan persyaratan menjadi sebuah desa. Kendala yang di hadapi saat itu mengapa harus pindah ada beberapa hal:
Menurut Kepala Linmas dusun I bahwa:
“Di hitung dari rumah penduduk pengunungan Ketong mencapai 15 pilar dan untuk Malei hanya mencapai 9 pilar, Kamonji 7 pilar dari tiga kategori pilar ini syarat yang sesuai untuk hal itu adalah Ketong , Ketong dulunya bekas kerajaan di mana awalnya di Ketong menurut terdahulu ada 7 tokoh yang berperan menjadikan desa Ketong menjadi kecamatan karena tidak memenuhi persyaratan akhirnya kecamatan dititip ke Tambu karena ketong belum memenuhi syarat, tapi saat Ketong sudah memenuhi syarat masyarakat Ketong minta kembali kecamatan harus di Ketong tapi masyarakat Tambu tidak mau. Tidak adanya peran serta putra Ketong yang duduk di dewan sehingga data-data valit Ketong harus di manipulasi oleh orang di atas seperti berkas-berkas untuk 15 point itu di manipulasi saat penentuan kecamatan oleh orag-orang berdasi dan juga di Malei di bilang ada 5 hektar untuk membuat kantor jika terpilih menjadi kecamatan, tapi pada kenyataannya hal tersebut hanya omong kosong belakang yang di janji-janjikan oleh para anggota dewan yang duduk didalam. Purta-putra dewan yang bayak ada di Malei, di Ketong sendiri sudah siap untuk lokasi yang sudah siap untuk pembangunan wilayah kecamatan tetapi ketua dewan Toki Palu belum harga mati setelah diituntun lima tahun” .
Menurut Marzuki bahwa:
“Hal yang menjadi kendala sendiri saat turun berkas pengadilan para Tokoh adat Ketong tidak di undang di DPR sehingga masyarakat sudah mendengar bahwa yang terpilih menjadi kecamtan adalah desa Malei”. Tetapi jika dilihat dari pilar yang dimaksud oleh dewan tersebut Ketong sudah bisa; sumber daya alamnya cukup, sumbrer daya manusia, penduduk yang terluas, pendapatan yang terbanyak, luas wilayah memadai untuk hal itu, menurut penuturan beliau itulah permainan politik, siapa yang kuat dia yang menang, siapa yang bertkuasa ia akan bertahan. Seperti pepatah yang di tuturkan “kita yang menanam orang lain yang memetik hasilnya”.

Secara umum permasalahan yang ada diatas menjadi fenomena yang menarik dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, hal ini menjadi menarik ketika hubungan yang ada sekarang dijalin kembali melalui system kekeluargaan, kekerabatan dan gotong royong. Ini dilakukan agar tidak terjadi lagi permusuhan yang membara di kedua desa tersebut, mengingat banyak pertikaian saat peistiwa berlangsung antara desa Malei dan Ketong. Setiap permasalahan pasti ada penyelesaiannya, begitu juga masyarakat Ketong dan Malei.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa suatu daerah akan mengalami kemunduran yang cepat, apabila hanya dibiarkan begitu saja tanpa adanyaperbaikan atau saran yang jelas dari pemerintah. Perbaiakn yang dimaskud adalah penjelasan mengenai hal-hal yang masih menjanggal dalam hati masyarakat. Perbedaan pendapat, pandangan ini harus didamaikan kembali oleh maing-masing individu yang satu dengan yang lain serta peran pemerintahn yang mampu menyelesaikan permasalahan yang ada.






PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang terjadi antara kedua desa ini adalah perbedaan kualitas wilayah, yang lebih strategis dan masih kental dngan budaya yang ada diantarana suku, agama, kebiasaan. Sebagai manusia yang beradab dengan peran pemerintah yang ada sebaiknya mengatasi semua masalah sesuai dengan tugas yang di berikan atau di tanggung oleh masing-masing pihak. Juga baagaimana peran Magau yang mampu mengambil sebuah kebijakan-kebijakan yang ada di desa Ketong dan sekitarnya yang paling berpengaruh di daerah local.
Sehingga tidak ada perbedaan atau manipulasi kekuasaan serta adanya nepotisme yang terusmengerogoti tangan-tangan orang-orang yang duduk di dewan. Oleh karena itu kepercayaan dan kebersamaan yang harus dijaga agar terjai tali persaudaraanserta tidak ada lagi pertumpahan darah antar warga Ketong dan Malei.


B. saran

sebagai warga Indonesia sebaiknya kita saling mengharagai satu sama lain, dan peran pemerintah untuk mendamaikan warga tersebut dengan kenyataan yang ada serta fenomena yang dihadapi oleh warga setempat. Agar perjuangan 7 dewan adat yang menjadi pejuang ketong bisa terjadi dan cita-cita tersebut bisa diwujudkan dengan di berikan atau diusahakan agar Ketong menjadi Kecamatan. Semoga kebijakan yang ditetapkan di desa Ketong sesuai dengan adat istiadat yang berlaku berdasarkan kesepakatan bersama oleh tokoh adat yang membuat kebijakan dan terpusat di Ketong.























DAFTAR PUSTAKA


Awan Muktakim,1998.Studi Masyarakat Indonesia.Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III












































Lampiran I:
Daftar Informan

Nama : Moh. Said Ahmad Lantera
Umur : 59 tahun
Pekerjaaan : petani
Jabatan :Maggau Ketong
Alamat : Dusun II desa Ketong

Nama : Halimah, S.H
Umur : 53 tahun
Pekerjaaan : IRT
Jabatan : Istri Maggau Ketong
Alamat : Dusun II desa Ketong

Nama : Hi. Intje Iya Tosorang
Umur : 90 tahun
Pekerjaaan : petani
Jabatan :Pabicara Ketong
Alamat : Dusun II desa Ketong

Nama : Jamaludin Gandali
Umur : 70 tahun
Pekerjaaan : petani
Jabatan :Imam Adat/Simanada Ketong
Alamat : Dusun II desa Ketong

Nama : Lamaria Lantera
Umur : 83 tahun
Pekerjaaan : petani
Jabatan :Maggau Ke 11 Ketong
Alamat : Dusun I desa Ketong

Nama : Sarifullah
Umur : 40 tahun
Pekerjaaan : PNS
Jabatan :Camat Balaesang Tanjung
Alamat : Palu, palupi

Nama : Bahrun Asma P.Djoha
Umur : 40 tahun
Pekerjaaan : petani
Jabatan :kepala Desa Ketong
Alamat : Dusun II desa Ketong

Nama : Subahri, S.Pd
Umur : 40 tahun
Pekerjaaan : PNS
Jabatan : Guru SDN 2 Ketong
Alamat : Dusun I desa Ketong
Nama : Sukardi
Umur : 53tahun
Pekerjaaan : petani/nelayan
Jabatan :-
Alamat : Dusun I desa Ketong

Nama : Marizuki
Umur : 42 tahun
Pekerjaaan : PNS
Jabatan :Guru
Alamat : Dusun I desa Ketong

Nama : Daeng Mataling
Umur : 54 tahun
Pekerjaaan : Petani
Jabatan :-
Alamat : Dusun II desa Ketong

































Lampiran II:
Foto-foto Informan





1. Kantor desa Ketong 3. Masjid An Nur




2. Jamaludin Gandali
Jabatan sebagi Imam adat (Simananda) 4. Aidil Jamaludin
Jabatan sebagai Kadus I



5.Moh. Said Ahmad Lantera
Jabatan Magau tahun 2009-sekarang


6.Lamari Lantara (Maggau ke 11 Ketong)


7. Hi. Intje Iya Tosorang (Pabicara Ketong)


8. Rumah Adat Magau Ketong


9. Sukardi (masyarakat Ketong dusun II)


10. Bahrun Asma (Kades Ketong periode 2007-2013)




11. Camat Balaesang Tanjung (periode 2009-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ai saya ria kuliah di universitas tadulako, saya ingin lebih banyal tahu tentang blog. moga dengan blog ini saya bisa mengawali karir saya dalam kuliah dan juga bermsayarakat