SEMANGAT HIDUP

SEMANGAT HIDUP
SIGLE

Sabtu, 14 Januari 2012

MENGKAJI ULANG MENGENAI: SASTRA SEJARAH (Imajinasi Yang Terus Bertanya)

Tulisan ini merupakan hasil diskusi pada Sabtu 28 Nopember 2008 di Lembaga Penelitian Untad (Pusat Penelitian Sejarah) kerjasama antara PusSEJ dengan Himpunan Mahasasiswa Sejarah (HIMSA) periode 2008-2009 yang di ketuai oleh Fatma Saudo yang menggadakan diskusi Rutin atau program kerja Himpunan dengan melaksanakan diskusi pada setiap hari sabtu dengan materi yang berbeda yang disajikan sehingga peserta tidak merasa bosan dengan materi yang selalu sama. Saat itu yang mengikuti diskusi adalah semua Mahasiswa Pendidikan Sejarah dari angkatan 2005, 2006, 2007, 2008 yang ingin mendapat wawasan khasana pengetahuan. Alasan mengapa Koran ini di diskusikan karena di dalamnya di bahas ada dua hal yakni:
a. Tulisan ini memperkenalkan membaca sejarah yang baru, karena sastra di katakan sebagai sumber sejarah
b. Penulisnya merupakan seorang sejarawan
Berdasarkan dua hal tersebut HIMSA mengangkat tema Humaniora Teroka yang terbit di kompas pada hari Sabtu, 22 Desember 2007 yang di tulis oleh sejarawan DR. Asvi Warman Adam yang merupakan Sejarawan LIPI hal inilah yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut lagi, terutama pembahasannya mengenai sastra sejarah Imajinasi Yang Terus Bertanya, seperti dalam pengantar buku Mochtar Lubis, maut dan cinta disebutkan “ sastra memang bukan tulisan sejarah dan juga tidak dapat dijadikan sumber penulisan sejarah”. Sehingga tulisan tersebutlah menjadi pengantar dalam tulisan imajinasi yang terus bertanya karya Asvi Warman Adam. Kemudian Taufik Abdullah dalam ilmu Kaldum menjelaskan bahwa sejarah adalah pengalaman impiris akan berjalan di dalam kegelapan. Penjelasan tersebut ada pada kalimat yang di sampaikan Taufik Abdullah pada tulisan Asvi Warman Adam mengenai Sastra Sejarah “Imajinasi yang terus bertanya”, Taufik Abdullah yang menolak dekonstruksi ini berpendapat, tanpa keyakinan bahwa kebenaran empiris dan historis adalah suatu yang bisa di dapatkan, kita hanya akan menggerayang dalam kegelapan”. Kenapa sastra di masukkan dalam sejarah, inilah yang harus di jawab? Mungkin ada alasan tersendiri yang penulis (Asvi Warman Adam) ingin ungkap dalam tulisannya tersebut sehingga Beliau mengembangkan sastra sebagai sejarah. Sastra tersebut ada beberapa macam, contoh sastra yaitu novel, puisi, pantun, Roman, cerpen. Pemikiran ini sebenarnya lahir tahun 2003, tetapi yang memasukkan sastra sebagai sumber sejarah serta ide tersebut sudah ada sejak tahun 1933 yang di tulis oleh Bill Askrop di Amerika tepatnya Kolombia Universitas. Dari hal tersebutlah sastra dijadikan sumber sejarah alasnnya ada 3 yakni :
a. Genre memiliki 4 hal yaitu tipe, jenis, bentuk, aliran
b. Sastra sebagai obyek memiliki 4 hal yakni :
1) Sejarah memiliki teori
2) Sejarah memiliki obyek
3) Sejarah memiliki metode
4) Sejarah memiliki sistematis/struktur berpikir
c. Sastra sejarah ini memiliki 3 hakikat sejarah yaitu:
1) Hakikat pelaku sejarah
2) Hakikat ruang
3) Hakikat waktu
Berdasarkan tiga hal tersebut apa yang diungkap oleh Lukacs dalam Le Roman Historique (payot, 1965) Lukacs berpendapat bahwa ‘genre’ itu menjadi sejarah sebagai obyeknya, tetapi ia sendiri takut kepada sejarah dan berenang di dalamnya. Penjelasan kata genre sendiri memiliki arti bahwa topic ini membahas mengenai aliran (penanda/abstrak) yang dikaitkan dengan tulisannya mengenai Le Roman Historique. Sehingga roman/sastra dapat digunakan sebagai obyeknya, serta roman/novel ini memiliki sejarah yang obyektif tinggi yang termuat di dalamnya. Oleh karena itu, jika sastra dikaitkan dengan hakikat sejarah karena cerpen juga termasuk dalam hakikat sejarah seperti “Robohnya Surau Kami” yang di tulis pada tahun 1994 diterbitkan sebanyak 82 kali, dan terakhir tahun 2006 ini menceritakan tiga hakikat tadi yaitu pelaku sejarah, ruang dan waktu.
Selanjutnya tulisan tersebut menjelaskan bagaimana kita menyeimbangkan imajinatif yang dimiliki oleh manusia seperti kalimat yang disampaikan dalam tulisan ini sama-sama imaninatif yang menggunakan pendekatan new historicism (NH) yang dicanangkan oleh Stepen Greenhaat tahun 1982 sebagaimana dijelaskan oleh Melani Budianto (dalam majalah sastra 3 tahun 2006), dapat menjadi pilihan dalam analisis karya sastra, sejarah dan sejarah secara utuh. Louis A Montrose menggunakan istilah ‘kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah atau dengan kata lain membaca sastra” memmbaca sejarah dan membaca sejarah = membaca sastra (aspek sejarah sebagai kontruksi sosial)”. Beranjak dari tulisan di atas mengenai sama-sama imaninatif yang menggunakan pendekatan New Historicims (NH) ini lahir tahun 1933-1882, ia berpendapat bahwa melalui pemikiran yang historicisme ini bahwa segala yang terjadi di dunia ini adalah sumber dari sejarah, serta tulisan-tulisan E.C Harr. Lalu sejarawan yang paling tua yakni Heredotus yang menulis tentang Perang Persia (the Persia of war), buku ini beraliran sejarah yang sangat popular tahun 1900-an serta tulisannya yang sangat nature histori lalu kemudian dikembangkan menjadi historicisme yang di dalamnya membahas mengenai dua hal penting yakni:
a. Studi pustaka mengenai novel, Roman (sastra saat itu belum di masukkan)
b. Studi lapangan mengenai dokumen yang belum dilihat dilapangan, seperti dalam buku Ali Haji tentang studi lapangan yang membahas beberapa hal seperti buku yang sangat popular yakni Tulfaton nafis, Ma’rifat Filbaya, Rukhiyah.
Studi lapangan mengenai dokumennya Ali Haji ini hanya dijadikannya beberapa syair kemudian menurut New Historicism hal tersebut bisa digunakan sebagai data sejarah karena sastra sejarah yang harus berlandaskan pada 3 hakikat sejarah yakni pelaku sejara, ruang, dan waktu. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang dengan kata lain kebenaran bersifat subyektif. Sejarah sendiri memiliki 2 teks imajinasi yang masing-masing menyusun versi tentang kenyataan yakni fiksi dan fakta. Tapi dalam sejarah fakta tersebut di masukkan menjadi fiksi, tapi ini harus melalui tahapan-tahapan imajinasi yang sesuai dengan relnya sendiri, karena imajinasi adalah pembayangan terbatas atau imajinasi merupakan langkah seorang yang sangat kreatif yang di dalamnya memiliki 3 kategori penting yakni saksi, pelaku, dan penulis, agar memudahkan sejarah sebagai ilmu dapat terjatuh dan tidak ilmiah bila berhubungan dengan filsafat yakni sejarah dimoralkan, dan sejarah sebagai ilmu ilmu yang konkret dapat menjadi filsafat yang abstrak, Kuntowijoyo, (2005:9-10). kemudian imajinasi juga memiliki 2 aspek yang penting yakni ; (1) bagaimana penulis masuk dalam peristiwa tersebut, (2) bagaimana penulis menjiwai peristiwa tersebut. Karena sejarah memerlukan imajinasi yang sangat dalam serta sejarawan harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa yang sedang terjadi dan apa yang terjadi sesudah itu, Kuntowijoyo, (2005:69-70). Menurut Kuntowijoyo, terbit tahun 2005 dalam buku pengantar Ilmu Sejarah ada 4 hal mengenai sejarah tersebut yakni cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Sastra itu biasanya akan berakhir dengan realitas. Sedangkan sejarah berakhir klimaks. Klimaks yang dtimbulkan ada 2 yakni kepuasaan dan penasaran kemudian setelah itu akan muncul yang namanya obsesi/harapan seseorang, sehingga sastra dengan sejarah semakin dekat, keduanya berkaitan dengan narasi sejarah. Ini diakibatkan karena sastra dapat dikatakan sebagai budaya yaitu sastra tematis (kebiasaan), dan sastra momotetis. Ada 3 hal kebudayaan sastra yakni bahasa, religi dan kesenian. Sedangkan sejarah memerlukan klimkas, klimaks adalah obsesi seorang pengarang artinya perpaduan rasa puas dan rasa penasaran. Dalam klimaks, sejarah memiliki 3 pertanyaan penting yakni mengapa, kenapa dan bagaimana, kemudian dari pertanyaan tersebut baru sejarah bisa dijawab melalui 3 tahapan juga yakni latar belakang, menceritakan realitas dan informasi baik itu fakta yang bersifat gejala maupun kenyataan.
Soal keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat yang jelas keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisannya baik itu berupa sastra maupun yang berbaur sejarah. Keakuratan dalam imajinasi memiliki 2 unsur yaitu; unsur subjektifitas dan unsure obyektifitas. Satra sebagai wilayah estetika yang otonom yaitu estetika/ keindahan. Sedangkan sejarah ada 3 wilayah yakni etika/moral (benar/salah), indah (bagus tidak bagus), layak/tingkah laku (baik/buruk). Hubungan sejarah dan sastra sangat unik karena sastra ada pantun pada abad ke 14, 1300 kiasan seperti berburu ke padang datar dapat rusa belang, berguru kepalang ajar dapat bunga kembang tak jadi. Dimana pada abad 14 datang/muncul bumingnya islam pantun yang hidup dipesantren untuk murid-muridnya. “Sejarah” mengapa dikatakan tidak akurat alasannya ada 6 dasar yang dimiliki yakni:
a. Sejarah memiliki pengertian sejarah ada deskontruksi masa lalu
b. Sejarah memiliki hakikat
c. Sejarah memiliki gerak yaitu langsung oleh tuhan dan kondisi masyarakat
d. Sejarah memiliki obyek yakni pemikiran kesejarahaan
e. Sejarah memiliki eksplonasi/penjelasan
f. Sejarah memiliki imajinasi
Menurut pemikiran post Kolonial, para sejarawan, di tuntut untuk mengakui bahwa 3 hal dalam sejarah yakni; (1) bahasa, (2) postmodernis, (3) didekontruksi. Dengan melihat tiga hal tersebut, maka bahasa digunakan sebagai huruf, symbol, kata, seni dan fungsi, agar mudah melakukan komunikasi antar para tokoh untuk berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Lalu postmodernis terbagi 2 kata yakni post yang artinya pasca/sesudah, modernis artinya canggih, rumit dan sulit. Jika diartikan keseluruhan post modernis adalah kembali ke’ yang lama berdasarkan aturan seperti salah satunya adalah munculnya pelancong/wisatawan. Postmodernis mengangumkan 4 hal yang ada dalam dunia sastra dan sejarah yang saling berkaitan yakni:
1. Menganggunkan demokrasi
2. Melindungi dan melestarikan alam
3. Menjunjung tinggi HAM
4. Menentang rasiolis/keseimbangan hidup dan kesejahteraan.
Berdasarkan 4 hal mengenai postmodernis maka kekaguman demokrasi dapat dilestarikan melalui berbagai kegiatan yang positif seperti HIMSA tahun 2010 lalu. Demokrasi sebagai salah satu alat bantu untuk mewujudkan sebuah roda pemerintahan. HIMSA yakin melakukan pemilu raya yang di ketuai oleh Moh. Sairin ini merupakan salah satu demokrasi yang menjunjung tinggi asas jurdil. Sehingga sastra dapat dijadikan sejarah karena memiliki 3 hal di dalamnya yakni; saksi, pelaku, dan penulis.
Kemudian didenkontruksi yang berasal dari dua kata de dan kontruksi. De artinya muncul, dan kontruksi artinya kerangka. Jadi dalam sejarah dekonstruksi itu terdiri dari naturalism dan strukturalisme. Naturalisme artinya segala yang terjadi dimuka bumi ini dipengaruhi oleh alam sedangkan strukturalisme yaitu teori mengenai segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini memiliki 4 model yaitu model memanjang, model naik, model lebar, model turun. Dalam strukturalisme ini ada 16 teori yang harus diperhatikan salah satunya seperti symbol, sosial masyarakat. Apa yang sebenarnya menjadi perbedaan antara keduanya? Pertanyaan itu yang sering muncul dibenak mahasiswa, sehingga mahasiswa merasa haus akan informasi tersebut. Jawaban dari pertanyaan itu sangat membutuhkan imajinasi, karena sastra hanya berakhir dengan pertanyaan sedangkan sejarah harus harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.
Tulisan mengenai topic ini mengungkap 4 hal yaitu teori pokok yang digunakan yakni:
1. Teori bahasa yang di bagi empat yaitu bahasa huruf, bahasa kata, bahasa symbol, bahasa seni.
2. Teori symbol yaitu bahasa sebagai symbol ada 2 yakni signifiut (penanda/abstrak), signified (petanda/konkrit)
3. Teori Dekonstruksi adalah upaya membalikkan kenyataan menurut Ferninand Dessousure.
4. Teori postcolonial orang yang memiliki 3 hal yakni memori/pengalaman, rasa/nilai keindahan/responsi, tingkat laku.
Sehingga sastra sejarah itu juga berpotensi untuk mengobati trauma masa lampau, seperti ditulis Melani Budianto pada sampul belakang novel Ojamagilak karya Marhin Aleida (2004) “Dengan membaca buku ini terasa beratnya beban sejarah, luka-luka masa lalu yang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, kecuali melalui sebuah cerita”. Inilah kutipan terakhir topic mengenai sastra sejarah imajinasi yang terus bertanya di tulis oleh Asvi Warman Adam, memberi gambaran umum bahwa sastra dapat mengobati trauma masa lampau karena sastra menjadi sebuah jembatan dalam sastra sejarah, tempat yang layak (rintihan orang ia tuangkan melalui sastra sejarah), sastra sejarah memiliki novel sejarah karena sastra memiliki 2 hal yaitu sastra tematis dan momotetis yang intinya kebudayaan sastra mengarah pada bahasa, religi dan kesenian. Demikian tulisan ini dibuat, semoga tulisan ini dapat menjadi khasana wawasan pengetahuan. Serta tulisan ini merupakan hasil diskusi yang segar bagi mahasiswa sejarah khususnya penulis yang ingin mengetahui seluk beluk mengenai sastra sejarah. Oleh karena itu, penulis mengajak para pemerhati sejarah, peminat sejarah, sejarawan, dan generasi muda, yang nantinya dapat membuat karya-karya yang lain mengenai sastra sejarah yang bisa dijadikan perbandingan dengan karya yang telah di tuangkan oleh Asvi Warman Adam.

Yojokodi, 4 Januari 2011
Komang Triawati
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Universitas Tadulako, angkatan 2008
Pengurus HIMSA periode 2008-2009
Kadiv Administrasi dan Keuangan Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI 2011-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ai saya ria kuliah di universitas tadulako, saya ingin lebih banyal tahu tentang blog. moga dengan blog ini saya bisa mengawali karir saya dalam kuliah dan juga bermsayarakat